Sabtu, 25 Juni 2011

Perampasan Lahan Garap Rakyat Miskin dan Penguasaan Tanah Negara (bagian 1)



Projek GKD Dipakai Kedok,
Basofi Soedirman Kuasai Tanah Negara 36,8 Ha
Tanah negara seluas 36,8 hektar di Desa Ngumpakdalem, Kecamatan Dander, Bojonegoro, awalnya digarap untuk lahan pertanian secara turun temurun oleh sekitar 120 warga Desa Sumberagung.  Kemudian, tanah tersebut dikuasai Basofi Sudirman saat masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Setelah itu, tiba-tiba dikuasai PT. Indo Megah Jaya, sebuah perusahaan lokal milik WNI keturunan bernama Hong Sien alias Handoko yang sangat dikenal sebagai kroni Bupati Bojonegoro, Drs. H. Suyoto. Bagaimana liku-liku kasus ini? Ikuti sampai tuntas laporan  Kuzaini wartawan BOJONEGOROsatu. 
Lahan milik Parwi berubah jadi danau

Desa Ngumpakdalem Kecamatan Dander berada di radius 8 km selatan kota Bojonegoro. Pada zaman penjajahan Belanda, desa ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten Jipang (kini Bojonegoro). Sementara di zaman kerajaan Singosari, Desa Ngumpakdalem merupakan daerah pertanian yang sangat subur.
Dipimpin seorang demang bernama Padamprana, Ngumpakdalem menjadi  desa yang sangat disegani oleh daerah di sekitarnya. Saat itu Ngumpakdalem menjadi barometer bidang pemerintahan maupun pertanian. Banyak tokoh dari berbagai penjuru minta nasehat kepada demang Padamprana. Bahkan, pada 27 November 1927, Pangeran Diponegoro pun pernah melangsungkan rapat di Ngumpakdalem untuk  mengawali perang  besar-besaran melawan Belanda.
Di zaman Orde Baru, tepatnya tahun 1993, kejayaan Ngumpakdalem tiba-tiba sirna. Masyarakat dan pamong desa di sana, hanya bisa pasrah ketika tanah seluas 36,8 hektar yang semula digarap sebagai lahan pertanian warga,  diminta oleh Gubernur Jawa Timur yang saat itu dijabat oleh Basofi Sudirman.
Tanah tersebut, awalnya, dikatakan kepada rakyat akan dipakai untuk projek Gerakan
Kembali ke Desa (GKD), sebuah projek percontohan kebanggaan membangun desa dari pemerintah pusat. Untuk megambil alih lahan itu, Basofi Sudirman memberikan ganti rugi kepada warga penggarap sekitar Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per meter.
Setelah pemberian ganti rugi dianggap beres, projek GKD pun segera dilaksanakan. Ratusan truk bermuatan material untuk membangun infrastruktur didatangkan. Dalam waktu relatif singkat, areal pertanian itu berubah menjadi pemandangan yang indah setelah di atasnya dibangun sebuah danau, ruma-rumah joglo, pendapa dan gazebo. 
Namun, ironisnya,  projek GKD tersebut diduga hanya rekayasa semata. Terbukti, tahun 1997 lahan GKD dikuasai oleh Basofi Sudirman Cs, yang dikuatkan dengan lima Sertifikat Hak Guna Pakai yang dikeluarkan oleh kantor Agraria (kini bernama Badan Pertanahan Nasional). Lima sertifikat tersebut atas nama Basofi Sudirman dan kerabat dekatnya.
’’Projek GKD hanya berjalan sekitar 3 tahun. Setelah itu macet karena ditinggalkan oleh pengelolanya. Kami sebagai warga yang menggarap lahan tersebut secara turun temurun merasa diakali,’’ ujar Parwi (45) yang juga dibenarkan oleh Entinah (44) warga Dusun Kebonagung, Desa Sumberagung, Kecamatan Dander yang merupakan petani penggarap di tanah negara tersebut., saat ditemui Surabaya Pagi.
Parwi mengungkapkan, ia bersama penggarap lahan lainnya merasa ketakutan ketika tanah yang mereka garap secara turun temurun diminta oleh Basofi Sudirman. Sebab mereka kerap menerima berbagai bentuk intimidasi yang dilakukan oleh orang Pemprov maupun oknum pejabat  Pemerintah Daerah Bojonegoro. ’’Jika masyarakat tidak mau melepas tanah maka dianggap PKI,’’ ungkapnya.
’’Ijole wekdal niku mboten murakapi saumpami kangge butuhan sakniki,’’ kata Parwi. Maksudnya, uang kompensasi yang diberikan oleh Basofi Sudirman saat itu sangat sedikit dan tidak bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Setelah lahan garapan dikuasai oleh Basofi Sudirman melalui projek GKD, Parwi bersama ibunya kemudian mengerjakan lahan miliknya sendiri yang berlokasi di Dusun Kebonagung Desa Sumberagung. Kini, Parwi dan ibunya hanya bisa memandangi lahan bekas miliknya seluas 1,5 hektar yang diubah menjadi danau oleh pengelola GKD dan sekarang mangkrak.
’’Tanah yang dipakai danau itu ketika masih saya garap bersama anak saya, bisa menghasilkan padi hingga tiga ton tiap kali panen,’’ kenang Kasmini, ibu Parwi. (bersambung)
--------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar